FILM

Gue tidak ingat kapan pastinya gue menjadi pecandu film. Mungkin dimulai sejak sandiwara radio Saur Sepuh di filmkan. Saat itu gue penasaran dengan karakter-karakter dalam sandiwara itu akan nampak seperti apa di filmnya. Apakah imaginasi gue sesuai dengan imaginasi si pembuat film. Sama lah dengan kita membaca buku yang kemudian difilmkan.

Tapi ya, dasar kuper dan miskin, gue tidak pergi ke bioskop dan menontonnya tapi hanya menatap-natap poster film di koran. Gue jadi tergila-gila dengan poster film. Poster-poster film yang ada di koran - koran. Baik yang besar hingga yang kecil. Favorit gue adalah koran Suara Pembaruan. Poster film di sana besar meski tetap hitam putih. Poster- poster itu gue gunting dan gue tempel di buku gambar kecil. Gue belajar bahasa Inggris dari judul film - film hollywood. Dari poster - poster itu gue mengamati bahwa ada 2 kelas bioskop. Kelas A (21 group), Kelas B (ex Mayestik Theater) dan kelas C (Pelangi di Kebayoran) . Untuk kelas A selalu memutar film-film terbaru. Untuk kelas B baru akan memutarnya sekitar 2 bulan kemudian atau lebih. Untuk film Indonesia hanya berjarak 1 minggu. Sementara untuk bioskop kelas C film - film baru itu akan mereka putar sekitar 8 bulan kemudian hahahaha. Dari poster - poster itu gue mengamati juga para pemainnya, sutradaranya dan bahkan gue mengenal oscar dari poster film. Dan tanpa gue sadari, gue juga belajar mengenai design layout dari poster - poster itu. Kebanyakan sih poster film hollywood yang bagus.



Kebiasan mengkoleksi poster film dari koran berlanjut hingga gue memiliki 8 buku gambar kecil dan 2 buku tulis. BEberapa rusak dimakan rayap. Lalu kemudian gue berhenti mengkoleksinya. Ketertarikan gue berkembang dari hanya sekedar poster hingga ke artikel. Gue sempat mengkliping artikel- artikel filmd ari koran. Tapi kemudian majalah Hai juga mulai banyak artikel fiilmnya. Ditambah pula dengan terbitnya majalah khusus film Cinemags.

Demikianlah ketertarikan gue akan film terus berlanjut hingga sekarang. Hingga senin pagi gue dengar kabar sedih. Asosiasi Produser Film Amerika menghentikan semua peredaran film asing di Indonesia. Pasalnya adalah diberlakukannya bea masuk atas Hak Distribusi Film  Import di Indonesia oleh pemerintah Indonesia. Akibatnya, fim -film yang rencananya akan tayang dalam minggu ini terpaksa ditunda. Atau sudah ditarik. Entahlah. Banyak perdebatan. Kaum nasionalis buta mengaanggap boikot ini sebagai simbol arogansi barat. Dan sekaligus bisa jadi momentum kebangkitan film nasional. Bagaimana film nasional bisa bangkit jika pajak yang dikenakan juga besar. Belum lagi minimnya sarana, sumber daya manusia, sekolah perfiliman yang sedikit. Ditambah peraturan perfilman yang tidak jelas. Membatasi sutradara film hanya boleh oleh orang yang memiliki pendidikan sekolah Perfilman.

Di lain pihak, pemerintah , dalam hal ini departmen perpajakan, sepertinya kian haus mengeruk pajak. Selalu ebrusah mencari-cari sumber baru yang bisa mereka pajaki. Ingat pajak atas warteg? Dan mereka semakin giat setelah mereka "mencetak" seorang penyelundup Pajak, Gayus, yang masih terkategori bawahan. Apalagi yang atasan.

Bukan masalah Nasionalisme yang tidak ada jika gue lebih suka menonton film Hollywood. Buat apa memaksakan diri menonton film jika tidak ada yang bagus dari film Indonesia yang ditawarkan. Atas pertimbangan balik modal, produsen memilih membuat film yang disukai masyarakat yang emngandung unsur mistis, pornografi dan romantisme cengeng.

Sudah terjadi di dunia pertelevisian Indonesia. Serial asing menghilang. Sinetron merajai, dengan kuantitas membludak tapi kualitas cetek. Menyusul dunia perfilman Indonesia.

Comments

Popular Posts