Majalah


Kalau kalian lihat foto-foto sebelumnya, ada beberapa foto majalah. ITu foto majalah-majalah yang sempat gue punya dan gue baca dulu. Yang paling tua umurnya adalah majalah kawanku. GUe baca saat gue duduk di bangku smp. sekitar tahun 1990 - 1993 :D. Dapat kalian bayangkan jamur dan debunya? atau dapat kalian rasakan? hahaha. Majalah kawanku sekarang dengan yang dulu sangat berbeda. Kalau sekarang dikhususkan untuk pembaca remaja putri. Sedangkan kalau dulu segmentasi hanya pada umur, yaitu abg puber. Meski dulu ada rubrik khusus NKOTB. KEmudian gue beranjak ke majalah Hai. Majalah khusus remaja pria. Remaja di sini sepertinya dimaksudkan untuk tingkatan SMA. Isinya lebih banyak dan lebih berbobot. Termasuk emmbahas masalah politik global. Bukan politik dalam negeri karena masih di era orde baru. Majalah Hai terus gue baca hingga lulus kuliah. Logo pun berganti. Majalah HAi bisa jadi dokumen solid atas krisis ekonomi yang bermulai pada tahun 1998. Majalah yang sempat berjumlah halaman sebanyak 120, setelah terjadi krisis menjadi hanya 80 halaman saja. Dengan jumlah iklan paling banyak 5 halaman saja. Bahan yang dipakai pun mengalami penurunan kualitas. Mereka masih memakai art paper untuk beberapa halaman, tapi jika dulu art papper dpakai untuk iklan kita dipakai untuk mini poster atau dulu istilah kerennya Pin Up. Yah begitulah, gue yang kuliah di perpajakan setiap minggunya membaca hai, bukannya buku pelajaran. Gue mengenal budaya pop dari majalah. Majalah Hai khususnya.
Dalam perjalanan gue mengenal majalah lainnya. Popular, majalah khusus laki-laki dewasa gue kenal dari seorang teman kuliah. Koleksi satu-satunya dari majalah itu adalah edisi khusus dimana Sophia Latjuba menjadi covernya. Cover yang sangat bagus sehingga memicu kontroversi. Angle yang tepat memberi kesan sophie yang masih memakai swimsuit itu nampak seperti telanjang.
Lalu ada beberapa majalah lainnya seperti Djakarta Magazine, a bilingual magazine. Artikel2nya cukup unik dan provokatif, termasuk juga covernya. Djakarta magazine juga merupakan majalah pertama yang cukup terbuka akan queer issue. Ada juga Newsmusik, yang design judulnya mirip dengan rolling stone di luar negeri. Majalah itu tidak bertahan lama dan beberapa tahun kemudian muncullah pemilik asli design logo tersebut, Majalah Rollingstone Indonesia.
Majalah. Sejujurnya bacaan favorite gue adalah majalah, bukan buku. APakah gue harus malu? Seharusnya tidak. Tapi kenapa gue juga membeli buku-buku untuk dibaca? Karena tertarik isinya atau sekedar hanya untuk meningkatkan derajat dan juga ada isi di kolom favorite book pada jejaring sosial?

Comments

Popular Posts