coretan


Hasil dari Ujian Nasional kembali diumumkan. Seperti biasa, Ujian Nasional yang masih kontroversial ini menuai hasil yang kontroversial pula. Banyaknya angka ketidak lulusan dari para pesertanya. Yang tidak lulus harus bersedih, dan menyiapkan diri untuk mengikuti ujian susulan. Yang sudah berhasil lulus, bisa berlega hati. Berlega hari, bersuka cita.
Kembali gue teringat saat kelulusan SMA dulu. Saat itu sudah mulai diatur agar murid-murid tidak hadir pada saat kelulusan. Gue sendiri di rumah. Kemudian gue diam-diam pergi ke sekolah. Menghadiri ritual corat-coret. Tentu saja setelah sebelumnya memastikan gue lulus. Dan berbeda dengan sekarang, presentasi lulus saat itu hampir 100%.
Entah kapan ritual corat-coret setelah kelulusan itu dimulai. Para murid mencorat-coret seragam sekolahnya dengan spidol dan pilox. Seragam putih - yang kalau sudah lama akan berwarna broken white - menjadi berwarna warni seperti pelangi. Seperti baju tiedye yang khas dijual di bali. MEncoret baju bisa jadi simbol kemerdekaan, kebebasan. Merdeka dari segala peraturan-peraturan yang mengekang selama bersekolah di SMA. Kebebasan berekspresi juga diwujudkan dalam coretan-coretan. Kebebasan berekspresi yang selama gue bersekolah di SMA (negeri) dirasa sanagat kurang. Ingat bagaimana rambut tidak boleh melebihi kerah baju bagi murid laki-laki?
Sayang ritual tersebut banyak yang menentang. Bukan tanpa sebab. Kebebasan berekspresi yang dilakukan sering melewati batas. Hingga cenderung rusuh dan anarkis. Dan berlangsung di luar lingkungan sekolah. Dan kemudian ritual tersebut dikait-kaitkan dengan issue sosial. Dimana ritual itu dianggap pemborosan dengan mengeluarkan uang hanya untuk membeli spidol dan cat semprot. Demikian juga baju yang dicorat-coret, yang dianggap mubazir. Idealnya baju tersebut disumbangkan ke pihak yang kurang mampu.
Anarki pada saat kelulusan terjadi di luar lingkungan sekolah. Mengapa? Karena pihak sekolah tidak mengizinkan mereka melakukan ritual corat-coret tersebut di dalam lingkungan sekolah. Mengapa dilarang? Karen pihak sekolah tidak mau nama mereka jelek karena dianggap mendukung kegiatan yang dianggap tidak mendidik itu. Diluar sendiri, pihak polisi tidak bisa mengadakan pengamanan dengan pendekatan persuasif. Mungkin biasa menangani preman pasar.
Lalu, mana yang lebih boros, mencoret-coret 1 dari 5 baju seragam yang lusuh dan membeli spidol dan cat semprot atau dengan membeli pakaian pesta dan berdandan di salon untuk menghadiri pesta proomnite? Oiya jangan lupa iuran untuk menghadiri acara pesta itu tidak murah lho. Dan dari mana kebudayaan proomnite itu? Yes, Amerika.

Comments

Popular Posts