Making Movies and Loving It

Adalah seorang actor bernama George Valentin yang merupakan bintang film bisu terkenal di Hollywood pada tahun 1926.  Pada suatu ketika dia bertemu dengan seorang gadis bernama Peppy Miller di sebuah acara Red Carpet salah satu film dia. Ternyata Gadis itu juga berminat untuk terjun ke dunia film. Hingga membawa mereka ke pertemuan ke dua di sebuah studio film. Berkat bantuan George, Peppy berhasil mejadi salah satu figuran di film yang George bintangi. Karier Peppy di Hollywood melesat cepat. Mulai dari seorang figuran hingga menjadi bintang utama. Seiring dengan itu pun dunia perfilman di Hollywood juga berubah pesat. Teknologi baru memungkinkan ada suara pada sebuah film. Film yang berbicara dan muka-muka baru di dunia perfilman membuat posisi George terancam.  Dia ditinggalkan oleh produser film yang selama ini membesarkan dia dan juga oleh istrinya. Tak hilang akal George tidak mau kalah dengan yang lain dia mulai menyutradarai dan membintangi filmnya sendiri, tetap dalam format bisu. Film itu tidak laku. Dia dinyatakan bangkrut. George terpaksa melelang barang-barang berharga kepunyaannya dan memecat pelayan setianya karena tidak mampu membayar jasanya. Dia tinggal di sebuah apartement kecil bersama anjing setianya Uggy. Uggy lah yang juga menyelamatkan George dari musibah kebakaran di apartmentnya. Merasa simpati dan jatuh cinta Peppy membantu George bangkit dari keterpurukan. Memcoba meyakinkan sang produser untuk kembali memakai George di film-filmnya.
Sementara itu adalah seorang anak laki-laki bernama Hugo Cabret. Dia menjadi yatim piatu setelah ditinggal mati oleh Ayahnya. Semenjak itu dia diasuk oleh pamannya yang pemabuk yang bertugas memutar jam di sebuah stasiun kereta api di Paris. Setelah mengajarkan Hugo bagaimana menjaga jam itu pamannya menghilang. Tinggalah Hugo seorang diri di stasiun itu. Dia hidup dari mencuri barang-barang. Tapi selain itu dia juga sedang mencoba memecahkan misteri sebuah robot yang ditinggalkan oleh Almarhum ayahnya. Robot itu ditemukan ayahnya dari sebuah museum. Hingga akhirnya tingkah lakunya diketahui oleh seorang pedagang toko mainan bernama George Melias. George menganggap Hugo telah mencuri barang-barangnya. George berjanji akan mengembalikan buku catatan milik almarhum ayah Hugo dengan syarat Hugo mau membantu dia di toko itu. Berkat bantuan seorang gadis kecil, Isabelle, keponakan dari George, mereka berhasil menghidupkan robot tersebut. Robot itu berhasil menghasilkan sebuah gambar yang berasal dari sebuah adegan film yang dulu pernah ditonton Hugo. Dengan bantuans eorang penulis buku, mereka mengetahui riwayat hidup Melias sebenarnya. Bahwa ternayata Melies adalah seorang sutradara dari film-film yang dulu sering ditonton oleh almarhum Ayahnya. Melias sangat terobsesi dengan film khusunya film fantasi. Bersama istrinya sebagai pemain dia membuat film. Dengan teknologi yang terbatas dia mencoba menghadirkan keajaiban film. Filmnya yang terkenal adalah Voyage to the Moon. Akan tetapi Perang Dunia telah merenggut semuanya. Tidak ada lagi yang tertarik akan film. Dalam keputus asaan, Melies menjual seluruh film-filmnya dan membakar property yang biasa dipakai untuk membuat film. Studio kacanya ikut hancur. “Happy ending only happen in the movie” demikian ujar Melies.
Dua kali gue mencoba menonton The Artist di rumah dari DVD bajakannya yang gue beli 1 bulan yang lalu. Tapi sayangnya keduanya tidak berhasil membuat gue tahan lama menatap layar monitor computer. Mungkin karena tidak adanya dialog di film itu. Yang terdengar hanya suara music yang agak monoton. Dan dengan banyaknya pengalihan di rumah ini, gagal sudah. Jadi gue memutuskan menontonnya di bioskop. Sejujurnya saat film di mulai pun gue berdoa agar tidak ketiduran. Sungguh, dari awal hingga akhir gue bias menikmatinya. Seperti film bisu yang pernah ada, di film ini ada text-text yang menerjemahkan beberapa dialog untuk membantu kita memahaminya. Di film ini kita bisa melihat apa yang terjadi di Hollywood tahun 1920an. Hollywood menjadi besar seperti saat ini karena sejak dari dulu sudah menjadi industry dan dijalankan dengan serius oleh orang-orang yang benar-benar mencintai seni.  Gue baru tahu kalau dulu music untuk film dimainkan secara live di gedung theater saat film diputar di depan para penonton. Yang tak kalah mencuri perhatian dalah Uggy the dog.

Sedangkan Hugo adalah film hasil penyutradaraan Martin Scorsese yang pertama yang bergenre film fantasi anak. Hugo dan The Artist bersaing untuk memperoleh gelar film terbaik di ajang penghargaan Academy Awards tahun ini. Keduanya menceritakan tentang sejarah dunia perfilman. Dunia pefilman yang saat ini kita lihat sudah sangat canggih di atas awing-awang. Tidak lagi memijak bumi. Tanpa kita ketahui dulunya begitu rumit orang membuat film. Tapi dengan kecintaan yang begitu dalam mereka berhasil menjalankannya. Semuanya karena cinta dan passion.  Karakter Valentin di film The Artist yang diawal digambarkan sangat mencintai film, juga sempat hancur karena kemajuan teknologi. Sementara passion Melies ikut hancur seiring perkembangan Perang Dunia I. Tapi, seperti yang diucapkan Ayah Hugo: Films have the power to capture dreams.

Comments

Popular Posts